The Blacklist

Orang-orang jahat yang mendunia. Terorganisasi dengan baik. Bekerja sama dengan pemerintah. Bahkan ada yang menguasai dunia. Imajinasi ini yang diejawantahkan Jon Bokenkamp dalam “The Blacklist”. Imajinasi rasa nyata. Atau memang nyata?

Daftar hitam‘ atau daftar orang-orang jahat di seluruh dunia. FBI meringkus mereka lewat Raymond ‘Red’ Reddington–James Spader, mantan pahlawan Amerika dan menjadi dalang kriminal yang menyerahkan diri ke FBI. Penyerahan diri Red dengan mengatakan, “saya hanya mau bicara dengan Agen Keen”, membuat saya tidak bisa berhenti di episode satu season satu. Misteri apa ini?

Agen Elizabeth Keen–Megan Boone, tampaknya menjadi benang kunci dari semua cerita yang ditulis Jon Bokenkamp ini. Red, pada saat penyerahan dirinya ke FBI mengaku memiliki daftar orang-orang jahat di dunia. Dirinya akan membuka daftar itu dengan dua syarat: kekebalan atas tuntutan kejahatannya dan hanya bersedia bicara dengan Agen Keen. Agen Keen, agen pemula, yang baru saja lulus dari pelatihan di Quantico patut was-was, ada apa antara dirinya dengan Red? Sejak wawancara pertamanya dengan Red di dalam jeruji besi, hidupnya tidak sama lagi.

Jelas Jon Bokenkamp bekerja keras menulis alur cerita film ini. Tayang perdana pada 23 September 2013, season delapan baru rilis di saluran NBC pada 13 November 2020 kemarin. Sebuah perjalanan perjuangan konsistensi untuk tetap berada dalam plot yang direncanakan. Maka tidak heran ketika film ini menjadi kesukaan warga Amerika dan mendapat ulasan positif dari kritikus TV di negeri Paman Sam itu. Saya pun tak sabar memencet ‘lanjut’ ke episode satu season tiga di Netflix setelah tadi sore menuntaskan episode 22 season dua.

Banyak hal yang membuat serial ini memikat. Imajinasi yang dituangkan ke dalam cerita serasa nyata. Masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan.

Salah satu episode yang menarik adalah kisah lembaga adopsi anak. Dasar cerita ini mengacu pada setiap keluarga menginginkan anak, tapi tidak semua rumah tangga dapat memiliki anak biologis. Keinginan inilah yang dimanipulasi lembaga itu. Caranya mereka menculik remaja perempuan untuk dijadikan produsen bayi. Para remaja ini disembunyikan. Dengan teknologi tinggi, mereka dibiarkan hidup dengan tidak sadar. Organ tubuhnya bekerja normal hingga dapat hamil berkali-kali. Bayi yang mereka lahirkan diadopsi keluarga kaya dengan biaya tinggi. Siapa sangka penyumbang sperma untuk semua bayi itu adalah pendiri lembaga yang dulu pernah diadopsi pada usia 7 tahun, namun dikembalikan ke panti asuhan? Jon membuat cerita yang tampak biasa, tapi di luar dugaan dan tetap relevan.

Episode lain–seperti bercerita tentang hari-hari ini, tentang virus mematikan. Seseorang menciptakan virus untuk memusnahkan manusia. Alasannya, bumi telah sekarat karena ulah manusia. Ia ciptakan virus, ia rekrut orang-orang yang mau menjadi pahlawan bumi. Orang rekrutan ini dimasukkan virus lalu diterbangkan ke negara lain. Sekejap ribuan orang terjangkit, dunia menghadapi galur wabah pneumonia. Orang-orang kemudian menggunakan masker dan face shield. Apa bedanya dengan yang kita hadapi hari-hari ini? Jon membuat beberapa cerita tentang virus mematikan dengan plot yang yang berbeda. Dengan virus corona hari ini, imajinasi Jon tampaknya tidak hanya sebatas imajinasi.

Entah apa kepentingannya, semua pelaku kejahatan itu diperoleh Agen Keen dari Red. Red membuka pintu, Agen Keen dan timnya menyelesaikan. Tapi pertanyaan besar Keen pada Red, “Kenapa saya?” tidak pernah mau dijawab Red. Hingga satu per satu tanda mulai tampak, bahwa Red memiliki hubungan dengan orang tua Keen–yang menurut ingatan Keen sudah meninggal karena kebakaran saat usianya empat tahun–dan Keen di masa kecil. Tapi hubungan seperti apa, Red tak pernah mau menjawab. Keen semakin ingin menjauh dari Red setelah mengetahui bahwa pria yang dinikahinya adalah mata-mata Red.

Tetapi yang terjadi, Keen semakin penasaran siapa dirinya, siapa Red, dan apa hubungan mereka, serta peran Red membuka daftar orang jahat dunia, membuatnya tidak bisa lepas dari Red.

Entah bagaimana cerita ini akan berakhir. Saya menulis ini karena merasa akrab dengan karakter Red, Keen, dan Tom–mantan suami Keen, setelah menonton dua season 44 episode. Besok season 3!

Putri Pejabat dalam Cengkeraman Dai Nippon

Dari bupati sampai lurah meneruskan propaganda Sandenbu. Sebagai konsekuensinya, mereka sendiri harus memberi contoh menyerahkan anaknya demi keselamatan jabatan dan pangkat. Hal. 12.

Mungkin kamu pernah mendengar cerita anak remaja Indonesia yang dijadikan budak seks para balatentara Jepang pada masa penjajahan. Dari kakek atau nenek. Cerita dari mulut. Cerita yang kita tidak pernah tahu kebenarannya, namun percaya itu terjadi.

Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer yang ditulis Pramoedya Ananta Toer ini, bisa jadi sambungan cerita kakek nenek. Tentang Kartini asal Sukorejo, Semarang, yang dijemput dengan sepeda motor jok samping di depan rumah. Pamit kepada ayah ibu dengan cucuran air mata. Debu jalanan menjadi tabir pemisah anak remaja dengan keluarga. Selamanya. 

Tentang Sutinah dari Semarang yang ditipu–penuh harap akan disekolahkan di Jepang, ia dibawa ke pulau Buru menjadi pelacur guna melayani serdadu Jepang di kawasan Maluku–.

Memang mereka ditipu. Diberi kabar angin kalau mereka akan disekolahkan di Tokyo atau Singapura. Mereka tidak tahu, akan dijadikan pengganti wanita penghibur dari Jepang, Cina, dan Korea karena posisi Jepang semakin terdesak serangan Sekutu pada tahun 1943. Saat itu, akses laut dan darat antara Jepang dengan pendudukan Jepang di Asia Tenggara sulit ditembus.

Namanya kabar angin. Dibumbui dengan kata janji. Janji yang tidak pernah ditulis. Tapi itulah cara Nippon untuk menghilangkan jejak. Ketika Nippon menyerah tanpa syarat, semua gadis yang mereka cengkeram dilepas. Tanpa fasilitas. Tanpa kehormatan. Banyak kalangan menilai perbuatan balatentara Jepang itu sebagai salah satu tragedi kemanusiaan terbesar abad ke-20. Tapi sulit juga membuktikannya, tak ada dokumen yang menguatkan.

Janji indah–menyekolahkan remaja Indonesia agar kelak mampu mengisi kemerdekaan Indonesia– paling ampuh disampaikan lewat penguasa. Karena, siapa berani pada mereka?

Janji itu mengepakkan sayap. Dari Sandenbu atau Barisan Propaganda, si alat perang Jepang ke para bupati. Dari bupati ke camat. Camat pada lurah. Lurah pada perabot desa dan penduduk. Sekali lagi: dari mulut ke mulut. 

Begitu janji itu disebar ke penduduk sekitar: bupati, camat, lurah, dan perabot desa harus memberi contoh. Menyerahkan anak gadisnya terlebih dahulu. Baru diikuti penduduk sekitar.

Seperti Lurah Wiryoprayitno menyerahkan anaknya Raden Roro Suwarningsih atau Mantri Polisi Danuatmodjo mengikhlaskan putrinya Raden Roro Wuryanti.

Gadis-gadis itu diangkut dari kampung-kampung. Dari Prambanan, Kudus, Brebes, Purworejo, Krawang, dan lain-lain. Disatukan di tempat pengumpulan.

Di Surabaya tempat itu terletak di Jalan Peiping (sekarang Jalan Sidolawang Baru). Tempat pengumpulan itu rumah dipagari kawat berduri dan dijaga prajurit Nippon. Di Jakarta lebih mengguncangkan. Mereka ditempatkan di bekas rumah keluarga De Boer di Jalan Bungur dekat Stasiun Senen. Seluruh halaman rumah dipagari ayaman bambu, tinggi tak terlihat dari jalanan.

Ke tempat itulah serdadu-serdadu Jepang datang. Beramai-ramai. Datang sempoyongan setelah minum-minum.

Menilik kembali cerita lama ini menimbulkan pengalaman yang berbeda. Tentang sejarah Indonesia. Tentang cita-cita seorang buangan Pemerintah Orde Baru– Pramoedya Ananta Toer kepada pemerintah Indonesia, untuk menuntut Jepang atas cengkeramannya kepada para anak remaja Indonesia silam–yang tak tercapai. 

Kebablasan KPPAD pada Kasus AY


Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak (KPPAD) Kalimantan Barat telah kebablasan menceritakan isi aduan korban penganiayaan AY kepada wartawan. Seharusnya KPPAD tidak boleh membeberkan kronologi detail dan bagaimana pengeroyokan itu dilakukan. Sungguh keteledoran luar biasa.  

Jelas tindakan itu melanggar UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Dalam undang-undang ini diatur bahwa identitas korban tindak kekerasan tidak boleh diungkap dan dilarang menceritakan kronologi kejadian secara vulgar. 

Saya, membaca berita online wawancara wartawan dengan ketua KPPAD benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana ketua KPPAD sama sekali tidak mengontrol kalimat-kalimatnya. Yang membuat semakin miris adalah malah KPPAD meminta media tidak memberitakan kasus ini dengan vulgar dan menutup identitas korban, sementara KPPAD menceritakannya dengan vulgar. Are you serious? KPPAD mau mengharap apa kepada media yang menghamba pada clickbait? 

Pemberitaan itu sungguh membuat saya lemas. AY telah berkali-kali dianiaya dan dikeroyok. Berapa puluh juta orang yang membaca berita online kronologi pengeroyokan AY, sejumlah itulah AY dikeroyok. Dan bahkan selama hidup AY, dia terus dikeroyok. 

Dalam pemberitaannya, jelas media juga kebablasan. Seperti biasa. Wartawan dan editor mengabaikan kode etik pemberitaan kasus tindak kekerasan. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual. Itu aturannya. Tapi kita mau mengharap apa pada media yang menghamba pada clickbait. Pada kasus yang lain, saya juga pernah menulis tentang kekurangajaran media dalam pemberitaan prostitusi, baca di sini. 

Media nasional tempo.co dan kompas.com pun luput. detik.com, tibunnews.com, dan media daring lainnya pun begitu. Mengutip mentah-mentah ujaran ketua KPPAD tanpa editing, yang mestinya bisa diperbaiki atas dasar kode etik jurnalistik.

Coba kita mengenyampingkan UU Nomor 11 Tahun 2012 dan kode etik jurnalistik, tidak tergoreskah hati Anda wahai ketua KPPAD ketika menceritakan kronologis itu secara detail? Atau Anda wartawan dan editor media ketika menuliskannya? 

Bayangkan penganiayaan itu terjadi pada adik atau anak Anda, lalu semua orang dan Anda membaca di media bagaimana perlakuan penganiayaan itu terjadi. Bagaimana perasaan Anda? 

Bukankah kalimat “pengeroyokan dan opname di rumah sakit” sudah cukup memberi gambaran kepada pembaca separah apa kekerasan itu? Tidak perlu menceritakan detail bagaimana pengeroyokan itu terjadi, seperti menceritakan korban diapakan, alat yang dipakai pelaku apa, berapa kali korban diapa-apai. Tidak perlu. 

Atau sudah setumpul itukah empati kemanusiaan kita? 

Selain KPPAD dan media telah membuat AY dikeroyok berkali-kali, berita ini juga bisa menjadi inspirasi bagi pembaca—anak-anak atau dewasa— untuk melakukan hal yang sama. 

Kriminolog Universitas Indonesia, Ade Erlangga Masdiana, mengatakan media menjadi alat pembelajaran pelaku melakukan tindak kriminal. Dalam kasus ini, pelaku [yang akan datang] akan meniru apa yang diucapkan ketua KPPAD dan dituliskan wartawan. Erlangga menjelaskan bahwa mekanisme peniruan terjadi baik secara langsung maupun tertunda. Pada anak-anak, media memberikan dampak langsung, sedangkan pada orang dewasa dampaknya tertunda. Kapan berada dalam posisi serupa. 

Tentu kita berharap kejadian serupa tidak terjadi lagi. 

Jadi, KPPAD berhentilah mengumbar kronologi detail peristiwa pencabulan, kekerasan, dan tindak kejahatan lainnya kepada media. Media pun harus menjaga kemanusiaannya tetap waras dalam kompetisi clickbait. Siapa lagi yang memanusiakan kita, kalau bukan sesama kita?

Menempa Pondasi

Pada akhirnya, aku menyadari bahwa waktu bersama Tempo Institute adalah sekolah tingkat lanjut dari gelar sarjana yang kusandang pada April 2015 silam. Kalau di sekolah dan kampus belajar teori-teori keilmuan, di Tempo Institute aku belajar memperkuat pondasi sikap mental sebagai manusia.

Ibarat mata kuliah, ada tiga hal yang aku konfirmasi dan pertajam selama di Tempo Institute.

Kesetaraan. Waktu SMA, aku mengenal kata ini pada pelajaran sosiologi. Di kuliah, kutemukan konsep ini dengan kata egalitarianisme. Semua itu masih sebatas teori dan konsep. Dalam praktik kehidupan sehari-hari, aku belum tahu seperti apa penerapannya. Sebagai anak kampung yang miskin, dulu aku minderan. Takut bicara. Takut tidak dianggap.

Pertama gabung di Tempo Institute, aku merasa suasananya beda. Cair. Sebagai anak baru aku disambut. Aku dikenalkan, tidak ada panggilan bapak atau ibu, semuanya mas atau mbak. Tak kelihatan ada senioritas. Bahkan ketika dalam perkenalan pun, ada tawa.

Semakin bertambahnya hari, aku kemudian belajar. Tempo Media Group menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, kesetaraan, dan demokrasi. Di Tempo, agamamu tidak akan ditanya, orientasi seksualmu pun tidak akan dipermasalahkan. Keberanianku tumbuh.

Di hari-hari yang terus berlalu, aku memperdalam dan berusaha menginternalisasi konsep kesetaraan.

Misalnya, wartawan Tempo dituntut harus punya mindset kesetaraan. Harus memiliki pola pikir bahwa dirinya dan narasumber adalah setara. Tidak boleh merasa rendah diri ketika wawancara dengan menteri atau presiden atau siapa pun. Juga tidak boleh merasa tinggi hati ketika wawancara dengan pemulung atau penjual mie gerobak. Semua manusia harus diperlakukan layaknya manusia, dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu juga wujud penghargaan pada lawan bicara.

Nilai-nilai kemanusiaan itu bersifat universal. Semua orang ingin dihargai, diperlakukan dengan baik, tidak dibeda-bedakan, dan ingin ditanya dengan sopan. Perlakukanlah orang seperti apa kamu ingin diperlakukan. Mindset seperti itu akan membuat pikiran kita bebas merdeka. Tidak canggung  bertanya karena tidak ada pertanyaan yang salah. Tidak canggung tertawa kalau pada saat bercanda. Tidak takut menyampaikan ide karena tidak ada ide yang keliru.

Masih anak baru waktu itu, aku bisa dengan mudah mengirim pesan Whatsapp ke Mas Arief Zulkifli Pemipin Redaksi Majalah. Atau Mas Budi Setyarso, Pemimpin Redaksi Koran. Atau dengan Mas Elik, Pemimpin Redaksi Tempo.co. Semua orang ini mudah saja dihubungi. Bahkan dalam beberapa kali kesempatan bercanda dan tertawa bersama.

Di Tempo Institute, dengan Direktur Mbak Mardiyah Chamim juga begitu. Pada rapat-rapat mingguan, kami cair. Ide bisa disampaikan, didiskusikan. Dan rasanya kami tidak pernah punya rapat yang tidak dibumbui dengan tawa. Ada-ada saja yang lucu dan melucu. Kok aku jadi ragu, apakah selama ini waktu yang aku habiskan di Tempo Institute itu disebut bekerja?  

Internalisasi kesetaraan ini membuatku jadi tidak gentar ketemu siapa pun. Selama kita memperlakukan orang lain dengan manusiawi, tidak ada yang mesti ditakuti.

Komunikasi . Karena budaya yang dibangun adalah kesetaraan, tak ada orang yang takut bicara. Siapa pun bisa bicara. Maka pentingnya komunikasi ini juga aku pahami betul selama di Tempo Institute. Apakah komunikasi verbal atau tulisan.

Semua masalah dapat diselesaikan dengan komunikasi. Jika kamu punya ide, sampaikan. Jika kamu punya masalah, sampaikan. Jika kamu punya salah, juga sampaikan. Jika kamu punya pengalaman yang penting untuk dibagikan, sampaikan.

Ini penting. Ini memerdekakan jiwa. Semua bisa selesai dengan komunikasi. Karena dalam komunikasi ada interaksi pikir. Ide akan didiskusikan bersama. Masalah akan diselesaikan bersama. Pengalaman dan kesalahan yang disampaikan akan menjadi pembelajaran bersama.

Orang mungkin akan takut mengomunikasikan kesalahan. Tapi, seperti yang aku sampaikan di atas, bahwa kesetaraan tadi menumbuhkan keberanian dan tanggung jawab. Dengan mengomunikasikan kesalahan yang merugikan orang lain adalah bentuk sikap yang menghargai orang lain. Karena manusia adalah makhluk pembelajar, kesalahan itu akan menjadi pembelajaran bersama. Tentu jika ada konsekuensi aturan organisasi yang mesti ditanggung karena kesalahan itu, ya memang harus ditanggung sesuai aturannya. Kita juga harus jadi manusia yang bertanggung jawab kan?

Kemampuan Menulis. Aku mendapat kesempatan super langka. Pertama kali menulis laporan kegiatan Tempo Institute dibimbing langsung oleh Mbak Mardiyah. Dari laporan yang awalnya beratus-ratus halaman bisa jadi hanya belasan halaman. Gimana caranya?

Dalam penulisan di Tempo, ada yang disebut dengan angle. Dari tumpukan laporan itu, apa yang paling menarik dan penting? Tulis itu saja.

Mbak Mardiyah benar-benar mengawal tulisanku saat itu. Mulai dari merumuskan angle, menyusun kerangka tulisan, menghubungkan antarparagraf, dan membuat judul.

Jadi, mulai dari laporan yang beratus-ratus halaman itu, berubah menjadi 70-an halaman. Dicek lagi sama Mbak Mardiyah, aku perbaiki lagi, jadi 30-an halaman. Dicek lagi, aku perbaiki lagi, jadi 20-an halaman, hingga akhirnya final hanya belasan.

Pada hari-hari terakhir di Tempo Institute, aku sempat membaca ulang laporan kegiatan pertamaku itu. Aku sangat bangga pada tulisan laporan itu. Terima kasih Mbak Mardiyah.

Menulis dan membaca itu sepaket. Kalau mau menulis, harus banyak membaca.

Jadi, usai menulis laporan kegiatan itu, aku hampir tidak lagi pernah menulis untuk blog pribadi—ketika mahasiswa aku punya blog pribadi–. Ada kesadaran dalam diri, bahwa aku belum banyak membaca. Akhirnya aku berhenti menulis untuk blog pribadi. Aku mulai membiasakan membaca. Hingga di tahun keempat di Tempo, yaitu Januari 2019, aku merasa sudah percaya diri untuk membuat blog baru—yang kalian buka sekarang. Penulis Indonesia yang paling berpengaruh membuatku berani menulis adalah Eka Kurniawan. Dia dan Pramoedya Ananta Toer adalah penulis favoritku. Sejauh ini. Tentu, aku masih terus belajar.

Ketiga hal di atas, yang aku pertajam di Tempo Institute adalah yang utama. Tentu aku juga belajar hal lain, seperti kerja tim, kepemimpinan, solidaritas, dan sikap asertif menyampaikan ide atau mengkritik ide. Pelajaran-pelajaran ini akan jadi modal utamaku melangkah ke tempat kerja yang baru, sebagai Aparatur Sipil Negara di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Terima kasih untuk perjalanan manis selama tiga tahun lima bulan di Tempo Institute.

Hidup adalah proses belajar tiada akhir. Aku siap melangkah!  

***

In tag: Ibu Rektor alias Mbak Mardiyah, Mbak Dewi, Mbak Pompi, Mbak Putri Ayunda atau Putri 1, Mbak Putri Kusuma atau Putri 2, Pak Kepala Mas Yus, Sonya, Alya, Mas Jefry, Uty, Bang Ipul, Mak Etha, Rumondang alias Sherlina, Dahlia, Nenes, Padil alias Fadhli Sofyan, Mbak Sinta, Mas Arya, Mas Qaris, Trio Bapake: Mas Felix, Mas Ramedy, dan Mas Sofril.    

Mas Daru, Ayah atau Pak MTQ, Mas Purwanto, Bunda Mbak Isti, Mas Budi, Mas Azul, Pak Amarzan, Ibu Leila S. Chudori, Mum atau Ibu Hermien Y. Kleden, Mas Juli, Om Yandhrie, Mas Bagja, Mas Eko, Om Ijar, Pak Uu, dan Mas-Mas dan Mbak-Mbak di redaksi lainnya. 🙂

Surat untuk Pak Rektor USU

Sebagai alumni, ada rasa malu yang muncul ketika hampir semua media di Indonesia memperbincangkan USU. Yang bikin malu adalah keramaian itu ditengarai keputusan rektor memberhentikan pengurus pers mahasiswa (persma) karena cerpen yang diterbitkan pers tersebut dinilai mengandung pornografi dan mendukung kelompok LGBT.

Cerpen yang dimaksud berjudul ‘Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya’. Saya sudah baca cerpennya, sama sekali tak membuat berahi saya naik. Ini, kalimat ini,“Kau dengar? Tidak akan ada laki-laki yang mau memasukkan barangnya ke tempatmu itu. Kau sungguh menjijikkan. Rahimmu akan tertutup. Percayalah sperma laki-laki manapun tidak tahan singgah terhadapmu,”. Mungkin ini dianggap porno. Tapi, hey, ini realitas sosial. Sebuah percakapan emosional. Tak perlu ditutup-tutupi. Apalagi diberahikan?

Yang lebih vulgar dari cerpen itu pun, seperti novel Eka Kurniawan dan Okky Madasari tak membuat saya berahi.

Pada Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas oleh Eka Kurniawan, halaman tujuh, Eka menulis, “Di malam pertama, ia berjanji akan meletakkan kemaluannya di celah dada isterinya.” Vulgar? Tapi siapa laki-laki di dunia yang tidak punya imajinasi tentang malam pertama? Atau siapa perempuan yang tidak punya imajinasi tentang malam pertama? Siapa pun berhak berimajinasi.

Atau ini, penggalan cerita dari 86 novel Okky Madasari halaman 179. “’Ah, I don’t believe you,’ Ananta said, running his hands over her arms, her back, and her breasts. He then slipped his hands beneath her shirt. Arimbi never wore a bra or panties when Ananta visited. And Ananta always wore pants with a hole in the pocket. This was another thing experience had taught them.” Ini kebetulan saya dapat yang versi bahasa inggris. Apakah saya berahi? Tidak. Karena ini konteksnya si isteri sedang di penjara. Justru saya merasa iba. Ini juga realitas sosial. Bagaimanapun si penulis mengembangkan imajinasi pada satu kejadian dalam novelnya, ia pasti menjaga kerealistisan alur cerita.   

Cerita yang mereka bangun itu kontekstual. Bukan sebuah undangan berahi pembaca, tapi menyampaikan keresahan  pada masalah sosial yang sebagian orang pura-pura tidak tahu atau sama sekali tidak tau. Ya kalau memang tidak tahu, saran saya pergi piknik. Kalaupun pura-pura tidak tahu karena tidak berani mengungkapkan, saran saya perbanyak piknik biar makin berani. Ini penting.

Itu dari sisi pornografinya.

Dari sisi tuduhan cerpen mengampanyekan dukungan pada LGBT, lagi-lagi ini soal kebebasan bereskpresi. Kebebasan mengkritik. Kebebasan bersuara. Saya tidak peduli apakah si penulis atau Suara USU atau bahkan USU mendukung LGBT, tapi di lingkungan kampus, tidak bisakah kita membicarakan ini? Di lingkungan kampus? Tidak bisakah kita mendiskusikan ini?

Di era globalisasi, Hak Asasi Manusia adalah mata uang universal. Jangan coba-coba bicara di forum internasional kalau tidak paham HAM, salah satunya memahami kelompok-kelompok minoritas, seperti LGBT. Kenapa? Karena mereka seringkali menjadi korban diskriminasi, dan ini sudah jadi isu global. Dalam kehidupan manusia yang setara, tak boleh ada diskriminasi.

Nah, di USU, mahasiswa seperti apa yang ingin dibentuk? Yang bicara di USU saja?  

Kampus adalah ruang akademis yang bebas. Bebas menghasilkan karya. Bebas mengolah pikiran. Bebas berekspresi. Bagi mahasiswa, kampus adalah tempat demokrasi yang sesungguhnya.

Kalau di kampus saja kreatifitas mahasiswa di kerangkeng, bagaimana mungkin mereka akan punya keberanian melahirkan ide-ide untuk membangun Indonesia?

Satu lagi, memilih pengurus baru persma Suara USU sesuai keinginan rektorat juga adalah bentuk kemunduran tingkat dewa. Mana sistem merit yang diajarkan dosen? Di mana letak legitimasi unit kegiatan mahasiswa yang diberikan? Bukankah ini sudah diatur?

Kalau pers mahasiswa hanya jadi corong kampus, yang memberitakan prestasi dan kerja yang baik-baik saja, kita mau kembali ke zaman baholak? Ketika media dimonopoli dengan hanya satu televisi agar yang ditonton masyarakat Indonesia hanya mau si penguasa? Ini bentuk keotoriteran. Tidak zaman lagi.

Daripada mengurusi hal-hal yang sesungguhnya tidak masalah, lebih baik fokus menaikkan peringkat USU yang semakin tahun semakin membuntut. Mau dibawa mundur berapa langkah lagi USU itu?

***

Nama saya Martin Rambe. Lulus dari USU tahun 2015 pada jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIP. Lalu bekerja di Tempo Institute sejak akhir 2015 hingga Maret 2019. Mulai April 2019 saya jadi Aparatur Sipil Negara di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebagai Analis Kebijakan. Saat ini sedang kuliah di Universitas Indonesia program Magister Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik, semester dua.

Siapa tahu Bapak mau mencari saya.

Salam

Ada Apa di Toilet Pria Stasiun?

Aku sedang buang air kecil di salah satu urinoir paling pinggir toilet pria stasiun Bekasi. Di samping kananku ada dua orang yang juga sedang [dugaan awal] melakukan aktivitas yang sama.

Saat menikmati kelegaan membuang air seni yang ditahan-tahan dari tadi, aku merasa orang yang persis di samping kananku mengarahkan wajahnya ke aku. Awalnya aku tak peduli. Aku tetap fokus.

Tapi lama-lama aku risih. Kok si Mas ini kayaknya mukaknya ke arahku terus. Kuberanikan menoleh ke kanan sekejap. Benar. Dan nampaknya arah matanya bukan ke wajahku, tapi ke urinoir yang kupakai.

Kuusahakan tetap fokus.

“Kenapa Mas? Airnya tidak keluar?” aku tiba-tiba menolehkan wajahku ke dia. Dalam pikiranku, air pancuran urinoir dia mati. Mungkin dia ingin aku cepat-cepat selesai, agar dia pindah ke urinoir yang kupake.

Gubraakk! Ternyata bukan. Dia mengajakku “begituan”.

Buru-buru aku selesai. Sempat kuumpatkan kata “anjinglah” pada pelecehan seksual itu sambil menarik kancing celana dan meninggalkan toilet.

Saat itu aku masih anak kereta yang culun. Kali ke-6 aku naik kereta rel listrik Jabodetabek.

Sejak kejadian itu, aku selalu berusaha menghindari buang air kecil di toilet stasiun. Sebisa mungkin. Sebelum berangkat ke kantor, aku selesaikan dulu urusan-urusan yang berkaitan dengan metabolisme tubuh ini. Demikian halnya dengan sebelum pulang dari kantor.

Tapi, selama setahun menjadi anak kereta, aku tak selalu berhasil. Terutama saat pulang kantor. Kadang aku lupa dengan urusan ini. Apalagi kalau pulang buru-buru dan larut malam. Dengan ikhlas, kadang aku harus ke toilet stasiun.

Suatu kali, aku harus ke toilet untuk buang air besar. Di stasiun Bekasi.

Fakta di sini jauh lebih mengejutkan. Dinding toilet penuh coretan. Kalau coretan-coretannya seperti dalam cerita Eka Kurniawan, Corat-Coret di Toilet, itu masih menyenangkan. Bisa membuat kita tertawa terpingkal-pingkal atau terinspirasi membasmi koruptor di negara ini dalam sekejap.

Tapi ini beda. Semua coretan-coretannya mengajak berhubungan seksual. Sesama jenis. Ini nomorku, aku jago bla bla bla. Sini aku bla bla bla. Ayo bla bla bla. Silakan kalian lanjutkan. Tak hanya kata-kata, ada gambar-gambar yang melengkapi.

Aku segera menyelesaikan urusan pribadi di toilet itu. Lagi, sebisa mungkin aku menghindari toilet stasiun Bekasi.

Ternyata, tak hanya di stasiun Bekasi. Coretan-coretan vulgar itu ada juga di toilet stasiun Tanah Abang dan stasiun Manggarai. Tapi tidak separah dan sebanyak di toilet stasiun Bekasi. Di stasiun Tanah Abang, tampak ada usaha pembersihan dari petugas toilet. Coretan-coretan itu ada yang ditimpa dengan cat.

Sejak pengalaman pertama menggunakan urinoir di stasiun Bekasi, aku tak pernah lagi memedulikan orang di sampingku saat harus kencing dengan tempat buang air kecil berdiri itu. Pengalaman dilecehkan itu pun tak pernah terulang lagi.

Aku bukan anti dengan teman-teman penyuka sesama jenis. Orientasi seksual adalah hak asasi. Tapi apapun orientasi seksual Anda, jangan pernah melakukan pelecehan.

Pingsan

“Mas, tolong bantu Mas, keluar aja,” begitu salah satu ucapan yang terdengar dalam kehebohan malam itu. Seorang perempuan pingsan. Sekilas kulihat wajahnya basah. Keringat.

Aku sudah tidak bisa lagi membedakan suasana malam-malam di kereta rel listrik Jabodetabek. Dari Manggarai ke Bekasi. Apakah malam itu tidak biasa atau biasa saja. Yang kurasakan, malam-malam di kereta itu sama. Sesak. Itu sudah ke 198 aku naik kereta.

Berdiri. Wajah menengadah. Menghadap langit-langit gerbong. Mencari ruang menghirup oksigen. Tas menempel di perut. Sedikit bungkuk. Pegal. Menjadi biasa.

Aku di gerbong empat. Di dekat pintu dekat sambungan gerbong lima. Di sini posisi favoritku. Aku bisa menyenderkan tubuh di dinding sambungan jika kosong. Tapi malam itu aku kurang beruntung. Dari Manggarai hingga Bekasi, dinding itu dikuasai seorang bapak-bapak.

Kereta terus melaju. Kini sudah melewati stasiun Cakung. Lewat satu stasiun lagi, Kranji, sudah akan sampai Bekasi. Aku sudah mahir memupuk kesabaran dan ketenangan.

Tapi tiba-tiba grasak-grusuk terjadi. Persis di depanku.

“Pingan, pingsan,” begitu bunyi suara-suara yang terdengar.

“Panggil satpam,” demikian seruan beberapa orang.

“Kasi ruang sedikit,” kata beberapa orang.

Aku belum bisa melihat kejadian sesungguhnya. Siapa yang pingsan. Ada empat orang yang melapis jarakku ke titik grasak-grusuk. Aku hanya bisa mendengar suara-suara itu sambil berdoa semoga secepatnya tiba di stasiun Kranji.

Tak ada ruang untuk orang yang pingsan itu ditelentangkan. Dari sisi-sisi orang di hadapanku, tampak seorang perempuan bersandar lemas di bahu seorang laki-laki. Ooh, rupanya Mbak itu.

Usianya mungkin 29 tahun. Aku melihat senderan kepalanya di bahu laki-laki itu. Dahi perempuan itu kadang terlihat. Basah oleh keringat. Tampak beberapa orang menunjukkan keprihatinan. Memegang tubuh perempuan itu agar tetap bersandar.

Kereta mulai melambat. Syukurlah. Sebentar lagi akan tiba di stasiun Kranji.

“Mas, tolong bantu Mas, keluar aja,” kata si laki-laki yang bahunya disenderi minta bantuan kepada mas-mas yang lain, yang dekat, ketika kereta berhenti. Menggotong tubuh perempuan itu keluar gerbong. Ada orang yang keluar gerbong, meminta bantuan satpam. Satpam datang.

Si Mbak ditelentangkan di peron. “Ada temannya gak ini?” Pak Satpam bertanya.

Tak ada yang mengaku.

Si Mas yang disenderi menitip si Mbak ke satpam. Lalu ia masuk lagi ke gerbong kereta.

Pintu kereta menutup. Melaju. Meninggalkan si Mbak telentang di peron, dijagai satpam dan beberapa orang.

Orang Miskin Berdialog dengan Dirinya Sendiri

Orang miskin berdialog dengan dirinya sendiri. Kalimat ini tiba-tiba saja muncul di benak usai membaca kalimat Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam buku biografi terbarunya. Pada halaman 13, di Menuju Cahaya, ia katakan Orang kecil lebih banyak berdialog dengan dirinya sendiri.

Jujur, aku berhenti sejenak setelah membaca kalimat itu.

Kawan, percayalah! Hanya dari mulut orang miskin kalimat seperti itu bisa keluar.

Orang miskin. Makan tiga kali sehari susah. Pantang sakit karena rumah sakit hanya tempat orang berduit. Diusir dari rumah kontrakan karena tak sanggup bayar. Tinggal di bantaran sungai yang sewaktu-waktu dapat digusur. Dan sebutkan sendiri yang lainnya.

Satu pengalaman hidup miskin yang paling menyedihkan Jokowi, yang ia bagikan dalam bukunya itu adalah ketika rumah kontrakan yang mereka tinggali di bantaran Kali Pepe digusur pemerintah daerah. Kali ini jauh lebih memukul ketimbang tergeser oleh orang yang bisa membayar kontrakan lebih tinggi. Demikian ia tulis di halaman 34.

Penggusuran itu tanpa aling-aling. Tanpa dialog. Tanpa solusi. Buldoser datang. Suruhan pemerintah.

Ketika buldoser merubuhkan rumah-rumah itu. Orang miskin, yang tinggal di sana, bisa apa? Teriak? Siapa yang dengar?

Ini jadi semacam nostalgia sih. Dulu, di tahun 2000-an.

Waktu belajar di sekolah dasar saja begitu susah. Bayar SPP yang cuma dua ribu saja sebulan sulitnya minta ampun. Apalagi mau beli buku.

Kepingin beli buku, mau berteriak ke siapa?

Mau makan sepulang sekolah, tidak ada nasi, mau berteriak ke siapa?

Orang miskin kemudian merenungi nasib. Menyerah atau berjuang. Solusi atas persoalan itu muncul dari hasil perdebatan dengan diri sendiri. Jokowi mengatakannya dengan nrimo. Sikap nrimo itu melahirkan ketegaran. Jauh lebih baik kami memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan hidup ketimbang memelihara kesedihan.  Begitu ia tulis di halaman 30.

Tapi sekarang sudah jauh beda. Sekolah gratis dari SD hingga SMA. Buku difasilitasi di perpustakaan. Meski juga belum memadai. Tapi sudah ada orang-orang yang peduli literasi, mengirimkan buku tiap tanggal 17, gratis.

Orang-orang kalau digusur dari bantaran sungai pun tak terjadi begitu saja. Ada dialog yang dibangun berkali-kali. Ada rumah yang dibangun sebagai pengganti. Meski ada kekurangannya, tapi minimal ada solusi yang ditawarkan.

Orang sakit pun tidak lagi takut ke rumah sakit. Ada BPJS yang menjamin pelayanan terhadap mereka. Meski ada saja pengalaman buruk pasien menggunakan fasilitas ini, tapi tetap lebih banyak orang yang merasakan manfaat. Bagaimanapun, tak semua orang bisa dengan mudah menerima perubahan.

Rupanya dialog orang miskin dengan dirinya sendiri menghasilkan solusi untuk orang banyak. Ketika orang miskin itu memegang kendali atas kebijakan-kebijakan. Ini seperti mimpi.

Belum semuanya baik. Tapi arah kepada perbaikan itu kelihatan.

Mudah-mudahan, Indonesia akan semakin baik.

Pura-pura Tidur

Pak Satpam masuk dari sambungan gerbong tiga ke empat. Seorang bapak renta mengikutinya. Bola mata Pak Satpam lincah bergerak ke kiri dan kanannya. Menembus sela-sela di antara orang berdiri. Ia hampir putus asa. Semua orang yang duduk tampak tidur.

Saat itu aku sudah mulai hafal perilaku orang-orang di kereta. Itu malam hari, pulang dari kantor, kali ke 126 aku naik kereta.

Di kereta, ada orang yang bisa tidur berdiri. Tak perlu kau tanya bagaimana mungkin. Keadaan bisa menjadikan apa pun bisa terjadi. Aku pernah menceritakannya di sini.

Ada yang pura-pura serong kiri kanan. Dorong depan belakang. Beragam maksudnya. Ada yang melecehkan orang lain karena nafsu birahi. Ini juga ada ceritanya di sini. Ada pula yang hanya ingin bersandar karena tidak kebagian gantungan tangan.

Bagi yang duduk, tidur adalah pilihan paling nyaman.

Bagi yang benaran tidur. Pertama, mungkin dia kelelahan. Kedua, dia ingin mempertahankan kekuasaan pada kursinya.

Tapi, ada juga yang pura-pura tidur. Wajah yang benaran tidur dengan yang pura-pura tidur sesungguhnya kelihatan jelas. Tapi ya prinsipnya usaha. Tujuannya jelas, mempertahankan status quo pada kursinya.

Demikianlah pada malam itu. Tampaknya Pak Satpam sudah mencari-cari kursi di gerbong tiga kereta yang membawa kami dari stasiun Manggarai ke Bekasi. Tapi tidak ada yang kosong dan tidak ada yang merelakan kursinya untuk si Bapak yang tua renta. Hingga ia sampai di gerbong empat. Si Bapak tua setia mengikut dari belakang.

Wajah Pak Satpam tampak putus asa. Melihat semua penumpang di kursi kiri dan kanan tak ada yang terjaga. Semua tidur. Ada yang menutup wajahnya dengan kopiah, jaket, sapu tangan, ada juga yang tidak sama sekali. Tapi tampak pulas.

Dari tadi sebenarya perhatianku tertuju pada seorang anak muda yang duduk. Mungkin usianya 23 tahun. Kadang ia melirik telepon genggamnya. Lalu menutup mata. Melirik sekeliling. Lalu menutup mata. Sebagai anak kereta yang sudah tidak culun lagi, aku cukup paham tingkah-tingkah seperti ini.

Kubilang sama Pak Satpam, “Mas yang itu coba Pak dibangunkan.” Aku menunjuk pada anak muda itu.

Pak Satpam mendekati si anak muda. Pundaknya disentuh. “Mas,” kata Pak Satpam. Anak muda langsung membuka mata. “Tolong kursinya Mas untuk Bapak ini,” ujar Pak Satpam.

Anak muda itu bergegas. Si Bapak yang renta lalu duduk.

Kalau Mau Nyaman, Naik Taksi Sana

“Ibu kalau mau nyaman naik taksi sana!” kata seorang ibu kepada seorang ibu yang lain dengan suara yang mengagetkan satu gerbong. Berpasang-pasang mata sontak menghadap mereka.

Kejadian itu hanya beberapa detik usai pintu otomatis kereta menutup. Kereta dari stasiun Tanah Abang ke Bogor. Aku masih anak kereta yang culun. Di kali ke empat menumpangi kereta pulang kantor. Pukul 19.05.

Stasiun Tanah Abang tidak pernah sepi. Aku sudah mendengarnya dari orang-orang sebelum aku sah menjadi anak kereta. Selain dipenuhi orang-orang yang bekerja, stasiun ini dipenuhi orang-orang yang belanja di pasar tanah abang.

Tidak heran, ada ibu-ibu atau bapak-bapak atau mbak-mbak dan mas-mas membawa gondolan belanjaan. Di kardus. Di karung goni. Di plastik besar. Ada yang bawa dua tiga empat atau hanya satu.

Aku sudah bersiap masuk gerbong ketika kereta mulai makin melambat di jalur tiga. Aku akan naik kereta tujuan Bogor untuk transit di stasiun Manggarai. Dari Manggarai baru nyambung ke Bekasi.

Ada beberapa ibu yang sudah bersiap juga dengan gondolan belanjaan. Ibu-ibu itu tidak sendirian. Mungkin itu suami atau anaknya yang menemani. Atau temannya.

Sempat terpikir, bagaimana ibu-ibu ini akan masuk ke dalam gerbong dengan kondisi kereta yang sangat ramai penumpang. Yang menunggu di peron saja sudah desak-desakan. Tapi sekali lagi, itu pikiran culunku.

Mereka pejuang-pejuang gerbong. Yang sudah terbiasa.

Ketika kereta benar-benar berhenti, para penumpang di dalam gerbong mulai keluar. Ada yang melompat. Buru-buru. Menghindari kami, penumpang yang mau masuk duluan menyerobot ke dalam.

Ada saja gerak penumpang yang turun lambat. Yang begini akan jadi korban seok-seok. Didorong dari luar. Didorong dari dalam. Umpatan terdengar.

Akhirnya aku berhasil masuk. Ramai. Padat. Aku mulai beradaptasi. Wajah aku tengadahkan ke atas. Tas ransel kupeluk erat di perut.

Hanya berselang beberapa detik, terdengar keriuhan.

“Ibu kalau mau nyaman naik taksi sana!” kata seorang ibu ke seorang ibu yang lain. Sekejap beberapa pasang mata menghadap mereka.

Rupanya itu suara salah satu ibu yang tadi, yang tak jauh dariku saat menunggu kereta, yang membawa gondolan belanjaan. Di gerbong pun jarak kami sangat dekat. Dia berdiri pas di depan pintu. Aku memegang gagang pintu. Menempel di dinding kursi panjang.

Dia marah pada seorang ibu karena si Ibu ini menunjukkan wajah tidak senang karena belanjaan si Ibu menimpa kakinya. Wajah masam itu ia hadapkan pada si Ibu yang punya belanjaan sambil menggeser kakinya. Terdengarlah teriakan itu.

Si Ibu yang disemprot tidak menjawab apa-apa. Dia hanya menggeser tubuhnya. Sedikit serong menjauh dari penampakan ibu yang punya belanjaan. Tidak ada ruang untuk benar-benar menjauh.

Mungkin dia sudah lelah dengan pekerjaan di kantor hari itu. Membalas semprotan si Ibu hanya membuang energi. Tak berguna.

Aku setuju dengan tindakannya.

Kereta terus melaju. Gerbong membisu.