Pada akhirnya, aku menyadari bahwa waktu bersama Tempo
Institute adalah sekolah tingkat lanjut dari gelar sarjana yang kusandang pada
April 2015 silam. Kalau di sekolah dan kampus belajar teori-teori keilmuan, di
Tempo Institute aku belajar memperkuat pondasi sikap mental sebagai manusia.
Ibarat mata kuliah, ada tiga hal yang aku konfirmasi dan
pertajam selama di Tempo Institute.
Kesetaraan. Waktu
SMA, aku mengenal kata ini pada pelajaran sosiologi. Di kuliah, kutemukan konsep
ini dengan kata egalitarianisme. Semua itu masih sebatas teori dan konsep.
Dalam praktik kehidupan sehari-hari, aku belum tahu seperti apa penerapannya. Sebagai
anak kampung yang miskin, dulu aku minderan. Takut bicara. Takut tidak
dianggap.
Pertama gabung di Tempo Institute, aku merasa suasananya
beda. Cair. Sebagai anak baru aku disambut. Aku dikenalkan, tidak ada panggilan
bapak atau ibu, semuanya mas atau mbak. Tak kelihatan ada senioritas. Bahkan
ketika dalam perkenalan pun, ada tawa.
Semakin bertambahnya hari, aku kemudian belajar. Tempo Media
Group menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, kesetaraan, dan demokrasi. Di Tempo,
agamamu tidak akan ditanya, orientasi seksualmu pun tidak akan dipermasalahkan.
Keberanianku tumbuh.
Di hari-hari yang terus berlalu, aku memperdalam dan berusaha
menginternalisasi konsep kesetaraan.
Misalnya, wartawan Tempo dituntut harus punya mindset
kesetaraan. Harus memiliki pola pikir bahwa dirinya dan narasumber adalah
setara. Tidak boleh merasa rendah diri ketika wawancara dengan menteri atau
presiden atau siapa pun. Juga tidak boleh merasa tinggi hati ketika wawancara
dengan pemulung atau penjual mie gerobak. Semua manusia harus diperlakukan
layaknya manusia, dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu juga wujud
penghargaan pada lawan bicara.
Nilai-nilai kemanusiaan itu bersifat universal. Semua orang
ingin dihargai, diperlakukan dengan baik, tidak dibeda-bedakan, dan ingin
ditanya dengan sopan. Perlakukanlah orang seperti apa kamu ingin diperlakukan. Mindset
seperti itu akan membuat pikiran kita bebas merdeka. Tidak canggung bertanya karena tidak ada pertanyaan yang
salah. Tidak canggung tertawa kalau pada saat bercanda. Tidak takut
menyampaikan ide karena tidak ada ide yang keliru.
Masih anak baru waktu itu, aku bisa dengan mudah mengirim pesan
Whatsapp ke Mas Arief Zulkifli Pemipin Redaksi Majalah. Atau Mas Budi Setyarso,
Pemimpin Redaksi Koran. Atau dengan Mas Elik, Pemimpin Redaksi Tempo.co. Semua
orang ini mudah saja dihubungi. Bahkan dalam beberapa kali kesempatan bercanda
dan tertawa bersama.
Di Tempo Institute, dengan Direktur Mbak Mardiyah Chamim
juga begitu. Pada rapat-rapat mingguan, kami cair. Ide bisa disampaikan,
didiskusikan. Dan rasanya kami tidak pernah punya rapat yang tidak dibumbui
dengan tawa. Ada-ada saja yang lucu dan melucu. Kok aku jadi ragu, apakah selama
ini waktu yang aku habiskan di Tempo Institute itu disebut bekerja?
Internalisasi kesetaraan ini membuatku jadi tidak gentar
ketemu siapa pun. Selama kita memperlakukan orang lain dengan manusiawi, tidak
ada yang mesti ditakuti.
Komunikasi . Karena
budaya yang dibangun adalah kesetaraan, tak ada orang yang takut bicara. Siapa
pun bisa bicara. Maka pentingnya komunikasi ini juga aku pahami betul selama di
Tempo Institute. Apakah komunikasi verbal atau tulisan.
Semua masalah dapat diselesaikan dengan komunikasi. Jika
kamu punya ide, sampaikan. Jika kamu punya masalah, sampaikan. Jika kamu punya
salah, juga sampaikan. Jika kamu punya pengalaman yang penting untuk dibagikan,
sampaikan.
Ini penting. Ini memerdekakan jiwa. Semua bisa selesai
dengan komunikasi. Karena dalam komunikasi ada interaksi pikir. Ide akan didiskusikan
bersama. Masalah akan diselesaikan bersama. Pengalaman dan kesalahan yang
disampaikan akan menjadi pembelajaran bersama.
Orang mungkin akan takut mengomunikasikan kesalahan. Tapi,
seperti yang aku sampaikan di atas, bahwa kesetaraan tadi menumbuhkan
keberanian dan tanggung jawab. Dengan mengomunikasikan kesalahan yang merugikan
orang lain adalah bentuk sikap yang menghargai orang lain. Karena manusia
adalah makhluk pembelajar, kesalahan itu akan menjadi pembelajaran bersama.
Tentu jika ada konsekuensi aturan organisasi yang mesti ditanggung karena
kesalahan itu, ya memang harus ditanggung sesuai aturannya. Kita juga harus
jadi manusia yang bertanggung jawab kan?
Kemampuan Menulis.
Aku mendapat kesempatan super langka. Pertama kali menulis laporan kegiatan
Tempo Institute dibimbing langsung oleh Mbak Mardiyah. Dari laporan yang
awalnya beratus-ratus halaman bisa jadi hanya belasan halaman. Gimana caranya?
Dalam penulisan di Tempo, ada yang disebut dengan angle.
Dari tumpukan laporan itu, apa yang paling menarik dan penting? Tulis itu saja.
Mbak Mardiyah benar-benar mengawal tulisanku saat itu. Mulai
dari merumuskan angle, menyusun kerangka tulisan, menghubungkan antarparagraf,
dan membuat judul.
Jadi, mulai dari laporan yang beratus-ratus halaman itu,
berubah menjadi 70-an halaman. Dicek lagi sama Mbak Mardiyah, aku perbaiki
lagi, jadi 30-an halaman. Dicek lagi, aku perbaiki lagi, jadi 20-an halaman,
hingga akhirnya final hanya belasan.
Pada hari-hari terakhir di Tempo Institute, aku sempat
membaca ulang laporan kegiatan pertamaku itu. Aku sangat bangga pada tulisan
laporan itu. Terima kasih Mbak Mardiyah.
Menulis dan membaca itu sepaket. Kalau mau menulis, harus
banyak membaca.
Jadi, usai menulis laporan kegiatan itu, aku hampir tidak
lagi pernah menulis untuk blog pribadi—ketika mahasiswa aku punya blog
pribadi–. Ada kesadaran dalam diri, bahwa aku belum banyak membaca. Akhirnya
aku berhenti menulis untuk blog pribadi. Aku mulai membiasakan membaca. Hingga
di tahun keempat di Tempo, yaitu Januari 2019, aku merasa sudah percaya diri
untuk membuat blog baru—yang kalian buka sekarang. Penulis Indonesia yang
paling berpengaruh membuatku berani menulis adalah Eka Kurniawan. Dia dan
Pramoedya Ananta Toer adalah penulis favoritku. Sejauh ini. Tentu, aku masih
terus belajar.
Ketiga hal di atas, yang aku pertajam di Tempo Institute adalah
yang utama. Tentu aku juga belajar hal lain, seperti kerja tim, kepemimpinan,
solidaritas, dan sikap asertif menyampaikan ide atau mengkritik ide.
Pelajaran-pelajaran ini akan jadi modal utamaku melangkah ke tempat kerja yang
baru, sebagai Aparatur Sipil Negara di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat.
Terima kasih untuk perjalanan manis selama tiga tahun lima
bulan di Tempo Institute.
Hidup adalah proses belajar tiada akhir. Aku siap melangkah!
***
In tag: Ibu Rektor alias Mbak Mardiyah, Mbak Dewi, Mbak
Pompi, Mbak Putri Ayunda atau Putri 1, Mbak Putri Kusuma atau Putri 2, Pak
Kepala Mas Yus, Sonya, Alya, Mas Jefry, Uty, Bang Ipul, Mak Etha, Rumondang
alias Sherlina, Dahlia, Nenes, Padil alias Fadhli Sofyan, Mbak Sinta, Mas Arya,
Mas Qaris, Trio Bapake: Mas Felix, Mas Ramedy, dan Mas Sofril.
Mas Daru, Ayah atau Pak MTQ, Mas Purwanto, Bunda Mbak Isti, Mas Budi, Mas Azul, Pak Amarzan, Ibu Leila S. Chudori, Mum atau Ibu Hermien Y. Kleden, Mas Juli, Om Yandhrie, Mas Bagja, Mas Eko, Om Ijar, Pak Uu, dan Mas-Mas dan Mbak-Mbak di redaksi lainnya. 🙂