Tidak semua novel harus difilmkan. Demikian pula, tidak semua kisah nyata harus difilmkan. Terkadang ada novel maupun peristiwa nyata yang nilainya begitu kuat dan besar, yang rasanya menjadi kurang bernilai ketika divisualkan ke dalam film satu dua jam. Bukan meragukan kemampuan sutradara menangkap semua rasa, kejadian, warna, dan karakter dari novel maupun peristiwa nyata, hanya memang ada novel maupun peristiwa nyata, yang biarlah mereka berdiri kokoh seutuhnya layaknya begitu dan dinikmati serta dikenang dengan caranya. Tanpa harus disadur ke media lain.
Film Faraaz didedikasikan untuk korban dan keluarga korban pada serangan teroris di Dhaka, Bangladesh, tahun 2016. Diangkat dari kisah nyata, tentu ada yang pro ada yang kontra. Namun di balik itu, tanpa merasa bahwa film ini mencoba mensimplifikasi peristiwa itu, mari melihat film garapan Benaras Media Works, Mahana Films, dan T-Series Films ini.
Mengisahkan serangan teroris, film ini menyajikan sudut pandang yang kritis pada isu agama dan unsur pemerintah.
Menit-menit awal menyajikan visual kota Dhaka, tanpa dialog. Datar dan sedikit membosankan. Tapi tak lama kemudian adegan-adegan muncul menaikkan emosi penonton.
Sekelompok teroris menyerang sebuah kafe di kota Dhaka, menembaki orang-orang yang mereka anggap kafir dan menyandera tamu yang mereka kira sealiran. Di sinilah Faraaz, dimainkan Zahan Kapoor ikut disandera bersama dua temannya.
Adegan penyanderaan terasa datar dan lambat. Meski ada adegan-adegan mencekam, menegangkan, bahkan mencoba menghibur, tapi secara keseluruhan terasa monoton. Dialog juga lambat dan diselingi percakapan basa basi, yang kurang menunjukkan suasana mencekam.
Satu dialog yang tajam dan relevan antara Faraaz dan pemimpin kelompok teroris adalah upaya sutradara Hansal Mehta untuk penonton merenungi kemanusiaan dan agama.
“Coba jadi manusia dulu, baru bicara soal menjadi muslim”
Terjemahan ke Bahasa Indonesia, filmnya menggunakan bahasa asli Hindi dan Inggris.
Juga adegan soal parfum yang mengandung alkohol–yang haram, untuk mengobati luka.
Tak hanya itu, film yang ditulis Raghav Kakkar, Kashyap Kapoor, dan Ritesh Shah, ini juga menyuarakan kritik kepada pemerintah. Hal itu terlihat dari adegan lambat pemerintah menangani aksi teroris. Koordinasi yang kurang dan lambat serta fasilitas persenjataan yang minim ditambah dialog-dialog yang tidak punya sense of crisis. Sutradara cukup berani menampilkan gerak gerik pemerintah yang lamban dan kebiasaan terlalu menyederhanakan solusi atas masalah. Hasil riset yang bagus atau pengembangan imajinasi?
Faraaz tentu tak mampu menangkap semua suasana yang terjadi di Dhaka tujuh tahun silam, namun cukup mampu memantik renungan mengenai agama, ketuhanan, dan kemanusiaan. Jadi film bergenre action dan thriller ini cukup okelah untuk ditonton di waktu luang, terutama kalau sedang tidak punya pilihan tontonan. Sejak tayang di Netflix pada 30 Maret 2023, beberapa hari masuk dalam sepuluh film teratas di Indonesia.