Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak (KPPAD) Kalimantan Barat telah kebablasan menceritakan isi aduan korban penganiayaan AY kepada wartawan. Seharusnya KPPAD tidak boleh membeberkan kronologi detail dan bagaimana pengeroyokan itu dilakukan. Sungguh keteledoran luar biasa.
Jelas tindakan itu melanggar UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Dalam undang-undang ini diatur bahwa identitas korban tindak kekerasan tidak boleh diungkap dan dilarang menceritakan kronologi kejadian secara vulgar.
Saya, membaca berita online wawancara wartawan dengan ketua KPPAD benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana ketua KPPAD sama sekali tidak mengontrol kalimat-kalimatnya. Yang membuat semakin miris adalah malah KPPAD meminta media tidak memberitakan kasus ini dengan vulgar dan menutup identitas korban, sementara KPPAD menceritakannya dengan vulgar. Are you serious? KPPAD mau mengharap apa kepada media yang menghamba pada clickbait?
Pemberitaan itu sungguh membuat saya lemas. AY telah berkali-kali dianiaya dan dikeroyok. Berapa puluh juta orang yang membaca berita online kronologi pengeroyokan AY, sejumlah itulah AY dikeroyok. Dan bahkan selama hidup AY, dia terus dikeroyok.
Dalam pemberitaannya, jelas media juga kebablasan. Seperti biasa. Wartawan dan editor mengabaikan kode etik pemberitaan kasus tindak kekerasan. Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual. Itu aturannya. Tapi kita mau mengharap apa pada media yang menghamba pada clickbait. Pada kasus yang lain, saya juga pernah menulis tentang kekurangajaran media dalam pemberitaan prostitusi, baca di sini.
Media nasional tempo.co dan kompas.com pun luput. detik.com, tibunnews.com, dan media daring lainnya pun begitu. Mengutip mentah-mentah ujaran ketua KPPAD tanpa editing, yang mestinya bisa diperbaiki atas dasar kode etik jurnalistik.
Coba kita mengenyampingkan UU Nomor 11 Tahun 2012 dan kode etik jurnalistik, tidak tergoreskah hati Anda wahai ketua KPPAD ketika menceritakan kronologis itu secara detail? Atau Anda wartawan dan editor media ketika menuliskannya?
Bayangkan penganiayaan itu terjadi pada adik atau anak Anda, lalu semua orang dan Anda membaca di media bagaimana perlakuan penganiayaan itu terjadi. Bagaimana perasaan Anda?
Bukankah kalimat “pengeroyokan dan opname di rumah sakit” sudah cukup memberi gambaran kepada pembaca separah apa kekerasan itu? Tidak perlu menceritakan detail bagaimana pengeroyokan itu terjadi, seperti menceritakan korban diapakan, alat yang dipakai pelaku apa, berapa kali korban diapa-apai. Tidak perlu.
Atau sudah setumpul itukah empati kemanusiaan kita?
Selain KPPAD dan media telah membuat AY dikeroyok berkali-kali, berita ini juga bisa menjadi inspirasi bagi pembaca—anak-anak atau dewasa— untuk melakukan hal yang sama.
Kriminolog Universitas Indonesia, Ade Erlangga Masdiana, mengatakan media menjadi alat pembelajaran pelaku melakukan tindak kriminal. Dalam kasus ini, pelaku [yang akan datang] akan meniru apa yang diucapkan ketua KPPAD dan dituliskan wartawan. Erlangga menjelaskan bahwa mekanisme peniruan terjadi baik secara langsung maupun tertunda. Pada anak-anak, media memberikan dampak langsung, sedangkan pada orang dewasa dampaknya tertunda. Kapan berada dalam posisi serupa.
Tentu kita berharap kejadian serupa tidak terjadi lagi.
Jadi, KPPAD berhentilah mengumbar kronologi detail peristiwa pencabulan, kekerasan, dan tindak kejahatan lainnya kepada media. Media pun harus menjaga kemanusiaannya tetap waras dalam kompetisi clickbait. Siapa lagi yang memanusiakan kita, kalau bukan sesama kita?