Orang miskin berdialog dengan dirinya sendiri. Kalimat ini tiba-tiba saja muncul di benak usai membaca kalimat Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam buku biografi terbarunya. Pada halaman 13, di Menuju Cahaya, ia katakan Orang kecil lebih banyak berdialog dengan dirinya sendiri.
Jujur, aku berhenti sejenak setelah membaca kalimat itu.
Kawan, percayalah! Hanya dari mulut orang miskin kalimat seperti itu bisa keluar.
Orang miskin. Makan tiga kali sehari susah. Pantang sakit karena rumah sakit hanya tempat orang berduit. Diusir dari rumah kontrakan karena tak sanggup bayar. Tinggal di bantaran sungai yang sewaktu-waktu dapat digusur. Dan sebutkan sendiri yang lainnya.
Satu pengalaman hidup miskin yang paling menyedihkan Jokowi, yang ia bagikan dalam bukunya itu adalah ketika rumah kontrakan yang mereka tinggali di bantaran Kali Pepe digusur pemerintah daerah. Kali ini jauh lebih memukul ketimbang tergeser oleh orang yang bisa membayar kontrakan lebih tinggi. Demikian ia tulis di halaman 34.
Penggusuran itu tanpa aling-aling. Tanpa dialog. Tanpa solusi. Buldoser datang. Suruhan pemerintah.
Ketika buldoser merubuhkan rumah-rumah itu. Orang miskin, yang tinggal di sana, bisa apa? Teriak? Siapa yang dengar?
Ini jadi semacam nostalgia sih. Dulu, di tahun 2000-an.
Waktu belajar di sekolah dasar saja begitu susah. Bayar SPP yang cuma dua ribu saja sebulan sulitnya minta ampun. Apalagi mau beli buku.
Kepingin beli buku, mau berteriak ke siapa?
Mau makan sepulang sekolah, tidak ada nasi, mau berteriak ke siapa?
Orang miskin kemudian merenungi nasib. Menyerah atau berjuang. Solusi atas persoalan itu muncul dari hasil perdebatan dengan diri sendiri. Jokowi mengatakannya dengan nrimo. Sikap nrimo itu melahirkan ketegaran. Jauh lebih baik kami memikirkan apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan hidup ketimbang memelihara kesedihan. Begitu ia tulis di halaman 30.
Tapi sekarang sudah jauh beda. Sekolah gratis dari SD hingga SMA. Buku difasilitasi di perpustakaan. Meski juga belum memadai. Tapi sudah ada orang-orang yang peduli literasi, mengirimkan buku tiap tanggal 17, gratis.
Orang-orang kalau digusur dari bantaran sungai pun tak terjadi begitu saja. Ada dialog yang dibangun berkali-kali. Ada rumah yang dibangun sebagai pengganti. Meski ada kekurangannya, tapi minimal ada solusi yang ditawarkan.
Orang sakit pun tidak lagi takut ke rumah sakit. Ada BPJS yang menjamin pelayanan terhadap mereka. Meski ada saja pengalaman buruk pasien menggunakan fasilitas ini, tapi tetap lebih banyak orang yang merasakan manfaat. Bagaimanapun, tak semua orang bisa dengan mudah menerima perubahan.
Rupanya dialog orang miskin dengan dirinya sendiri menghasilkan solusi untuk orang banyak. Ketika orang miskin itu memegang kendali atas kebijakan-kebijakan. Ini seperti mimpi.
Belum semuanya baik. Tapi arah kepada perbaikan itu kelihatan.
Mudah-mudahan, Indonesia akan semakin baik.